Prinsip-prinsip Mengkaji Agama

Menuntut ilmu agama tidak cukup bermodal semangat saja. Harus tahu pula perincian-perincian yang telah digariskan syariat. Tujuannya agar tidak keliru menghadapi seruan dari pelbagai golongan pendakwah. Dan yang paling penting, tidak terjatuh kepada pemahaman yang menyimpang!

Dewasa ini banyak sekali ‘jalan’ yang ditawarkan untuk mempelajari dienul Islam. Setiap pihak masing-masing sudah pasti mengaku bahawa jalannya sebagai yang terbaik dan benar. Melalui pelbagai cara mereka berusaha meraih pengikut sebanyak-banyaknya. Lihatlah sekeliling kita. Ada yang menawarkan jalan dengan me"manage qalbu"nya, ada yang mengajak untuk terlibat hura-huranya politik, ada yang menyeru umat untuk segera mendirikan Khilafah Islamiyah, ada pula yang berkelana dari daerah satu ke daerah lain mengajak manusia ramai-ramai ke masjid.

Namun lihat pula sekeliling kita. Kondisi umat Islam masih tetap sedemikian. Kebodohan dan ketidak-upayaan masih menyelimuti. Malah kelihatan makin bertambah parah.

Apakah ada yang salah dari tindakan mereka? Ya, bila melihat kondisi umat yang semakin jatuh dalam kegelapan, sudah pasti ada yang kurang tepat. Mengapa mereka tidak mengajak umat untuk kembali mempelajari agamanya dahulu? Mengapa mereka justeru menyibukkan umat dengan sesuatu yang berhujungkan kesia-siaan?

Ahlussunnah wal Jama’ah sebagai pewaris Nabi selalu berusaha mengamalkan apa yang diwasiatkan Rasulullah untuk mengajak umat kembali mempelajari agamanya. Dalam berbagai isu, Ahlussunnah tidak akan pernah keluar dari jalan yang telah digariskan oleh Nabi SAW. Lebih-lebih dalam mengambil dan memahami agama di mana hal itu merupakan sesuatu yang sangat asasi pada kehidupan. Inilah yang sebenarnya sangat diperlukan umat.

Berikut kami akan menghuraikan manhaj Ahlussunnah wal Jama’ah dalam mengkaji agama, namun kami hanya akan menyebutkan hal-hal yang sangat asasi dan mendesak untuk diungkapkan. Tidak mungkin kita menyatakan kesemuanya kerana terlalu banyak dan sementara ruang yang ada pula agak terbatas.

Makna Manhaj

Manhaj dalam bahasa Arab adalah sebuah jalan terang yang ditempuh. Sebagaimana dalam firman Allah:

“Dan kami jadikan untuk masing-masing kalian syariat dan minhaj.” (Al-Maidah: 48)

Perkataan minhaj , sama ertinya dengan perkataan manhaj . Kata minhaj dalam ayat tersebut diterangkan oleh Imam ahli tafsir Ibnu Abbas, memberi makna sunnah. Sedangkan sunnah bermaksud jalan yang ditempuh dan sangat terang. Demikian juga dijelaskan oleh Ibnu Katsir (lihat Tafsir Ibnu Katsir 2/67-68 dan Mu’jamul Wasith).

Yang diinginkan dengan pembahasan ini adalah untuk menjelaskan jalan yang ditempuh Ahlussunnah dalam mendapatkan ilmu agama. Dengan jalan itulah, insya Allah kita akan selamat dari berbagai kesalahan atau kerancuan dalam mendapatkan ilmu agama. Inilah perincian-perincian yang harus dipegang dalam mencari ilmu agama:

1. Mengambil ilmu agama dari sumber aslinya yaitu Al Qur’an dan As Sunnah.

Allah SWT berfirman:
“Ikutilah apa yang diturunkan kepada kalian dari Rabb kalian dan jangan kalian mengikuti para pimpinan selain-Nya. Sedikit sekali kalian mengambil pelajaran darinya.” (Al-A’raf: 3)

Dan Rasulullah SAW bersabda:
“Ketahuilah bahawasanya aku diberi Al Qur’an dan yang serupa dengannya bersamanya.” (Shahih, HR. Ahmad dan Abu Dawud dari Miqdam bin Ma’di Karib. Lihat Shahihul Jami’ N0. 2643)

2. Memahami Al Qur’an dan As Sunnah sesuai dengan pemahaman salafus shalih yakni para sahabat dan yang mengikuti mereka dari kalangan tabi’in dan tabi’ut tabi’in. Sebagaimana sabda Nabi SAW:
“Sebaik-baik manusia adalah generasiku kemudian yang setelah mereka kemudian yang setelah mereka.” (Shahih, HR Bukhari dan Muslim)

Kebaikan yang berada pada mereka adalah kebaikan yang mencakup segala hal yang berkaitan dengan agama, baik ilmu, pemahaman, pengamalan dan dakwah.

Ibnul Qayyim berkata: “Nabi mengkhabarkan bahawa sebaik-baik generasi adalah generasinya (Nabi dan para sahabat) secara mutlak. Itu berarti bahwa merekalah yang paling utama dalam segala pintu-pintu kebaikan. Kalau tidak demikian, yakni mereka baik dalam sebahagian sisi sahaja maka mereka bukan sebaik-baik generasi secara mutlak.” (lihat Bashair Dzawis Syaraf: 62)

Dengan demikian, pemahaman mereka terhadap agama ini sudah dijamin oleh Nabi. Sehingga, kita tidak meragukannya lagi bahawa kebenaran itu pasti bersama mereka dan itu sangat wajar kerana mereka adalah orang yang paling tahu selepas Nabi. Mereka menyaksikan di mana dan bila diturunkan wahyu dan mereka tahu bagaimana situasi sewaktu Nabi SAW mengucapkan hadith. Keadaan yang semacam ini tentu sangat mendukung terhadap pemahaman agama. Oleh kerana itu, para ulama menyebutkan bahawa ketika para sahabat bersepakat terhadap sesuatu, kita tidak boleh menyelisihi mereka. Dan tatkala mereka berselisih, maka tidak boleh kita keluar dari perselisihan mereka. Artinya kita harus memilih salah satu dari pendapat mereka dan tidak boleh membuat pendapat baru di luar pendapat mereka.

Imam Syafi’i mengatakan: “Mereka (para sahabat) di atas kita dalam segala ilmu, ijtihad, wara’ (sikap berhati-hati) , akal dan pada perkara yang mendatangkan ilmu atau diambil darinya ilmu. Pendapat mereka lebih terpuji dan lebih utama buat kita dari pendapat kita sendiri -wallahu a’lam- … Demikian kami katakan. Jika mereka bersepakat, kami mengambil kesepakatan mereka. Jika seorang dari mereka memiliki sebuah pendapat yang tidak diselisihi yang lain maka kita mengambil pendapatnya dan jika mereka berbeda pendapat maka kami mengambil sebagian pendapat mereka. Kami tidak akan keluar dari pendapat mereka secara keseluruhan.” (Al-Madkhal Ilas Sunan Al-Kubra: 110 dari Intishar li Ahlil Hadits: 78].

Begitu pula Muhammad bin Al Hasan mengatakan: “Ilmu itu ada empat bentuk, pertama apa yang terdapat dalam kitab Allah atau yang serupa dengannya, kedua apa yang terdapat dalam Sunnah Rasulullah atau yang semacamnya, ketiga apa yang disepakati oleh para shahabat Nabi atau yang serupa dengannya dan jika mereka berselisih padanya, kita tidak boleh keluar dari perselisihan mereka …, keempat apa yang diangap baik oleh para ahli fiqh atau yang serupa dengannya. Ilmu itu tidak keluar dari empat bentuk ini.” (Intishar li Ahlil Hadits: 31)

Oleh kerana itu, Ibnu Taimiyyah berkata: “Setiap pendapat yang dikatakan hanya oleh seseorang yang hidup di masa ini dan tidak pernah dikatakan oleh seorangpun yang terdahulu, maka itu adalah silap.” Imam Ahmad mengatakan: “Jangan sampai engkau mengeluarkan sebuah pendapat dalam sebuah masalah yang engkau tidak punya pendahulu padanya.” (Majmu’ Fatawa: 21/291)

Hal itu -wallahu a’lam- karena Nabi bersabda:
“Sesungguhnya Allah melindungi umatku untuk berkumpul di atas kesesatan.” (Hasan, HR Abu Dawud no:4253, Ibnu Majah:395, dan Ibnu Abi Ashim dari Ka’b bin Ashim no:82, 83 dihasankan oleh As Syaikh al Albani dalam Silsilah As- Shahihah:1331]

Jadi tidak mungkin dalam sesebuah perkara agama yang diperselisihkan oleh mereka, semua pendapat adalah salah. Kerana jika demikian bererti mereka telah berkumpul di atas kesalahan. Karenanya pasti kebenaran itu ada pada salah satu pendapat mereka, sehingga kita tidak boleh keluar dari pendapat mereka. Kalau kita keluar dari pendapat mereka, maka dipastikan salah sebagaimana dijelaskan oleh Ibnu Taimiyyah di atas.

3. Tidak melakukan taqlid atau ta’assub (fanatik) madzhab. Allah berfirman:
“Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu dan janganlah kamu mengikuti pemimpin-pemimpin selain-Nya. Amat sedikitlah kamu mengambil pelajaran (darinya).” (Al-A’raf: 3)

“Dan apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah. Bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah sangat berat hukuman-Nya.” (Al-Hasyr: 7)

Dengan jelas ayat di atas menganjurkan untuk mengikuti apa yang diturunkan Allah baik berupa Al Qur’an atau Hadith. Maka ucapan siapapun yang tidak sesuai dengan keduanya bererti harus ditinggalkan. Imam Syafi’i mengatakan: “Kaum muslimin bersepakat bahawa siapapun yang telah jelas baginya Sunnah Nabi maka dia tidak boleh berpaling darinya kepada ucapan seseorang (manusia), (walau) siapapun dia.” (Sifat Solat Nabi: 50)

Demikian pula kebenaran itu tidak terbatas pada pendapat salah satu dari Imam madzhab yang empat. Selain mereka, masih banyak ulama yang lain, baik yang sezaman atau yang lebih dahulu dari mereka. Ibnu Taimiyah mengatakan: “Sesungguhnya tidak seorangpun dari ahlussunnah mengatakan bahawa kesepakatan empat Imam itu adalah hujjah yang tidak mungkin salah. Dan tidak seorangpun dari mereka mengatakan bahawa kebenaran itu terbatas padanya dan bahawa yang keluar darinya berarti batil. Bahkan jika seorang yang bukan dari pengikut Imam-imam itu seperti Sufyan Ats Tsauri, Al Auza’i, Al Laits bin Sa’ad dan yang sebelum mereka atau Ahlul Ijtihad yang setelah mereka mengatakan sebuah pendapat yang menyelisihi pendapat Imam-imam itu, maka perselisihan mereka dikembalikan kepada Allah SWT dan Rasul-Nya, dan pendapat yang paling kuat adalah yang berada di atas dalil.” (Minhajus Sunnah: 3/412 dari Al Iqna’: 95).

Sebaliknya, ta’assub (fanatik) pada madzhab akan menghalang seseorang daripada sampai kepada kebenaran. Tak hairan kalau sampai ada dari kalangan ulama madzhab mengatakan: “Setiap hadith yang menyelisihi mazhab kami maka itu mansukh (terhapus hukumnya) atau harus ditakwilkan (yakni diarahkan kepada makna yang lain).”

Akhirnya mazhablah yang menjadi ukuran kebenaran bukan ayat atau hadith. Bahkan ta’assub seperti itu memberi kesan buruk terhadap agama Islam sehingga menghalang seseorang daripada memeluk Islam sebagaimana yang terjadi di Tokyo ketika beberapa orang ingin masuk Islam dan ditunjukkan kepada orang-orang India maka mereka menyarankan untuk memilih mazhab Hanafi. Ketika datang kepada orang-orang Jawa atau Indonesia mereka menyarankan untuk memilih mazhab Syafi’i. Mendengar jawapan-jawapan itu mereka sangat kehairanan dan keliru sehingga sempat menghambat dari jalan Islam [Lihat Muqaddimah Sifat Solat Nabi hal: 68 edisi bahasa Arab)

4. Waspada dari para da’i jahat. Jahat yang dimaksud bukan dari sisi kriminal tapi lebih khusus adalah dari tinjauan keagamaan. Ertinya mereka yang membawa ajaran-ajaran yang menyimpang dari aqidah Ahlussunnah wal Jama’ah, sedikit atau banyak. Di antara ciri-ciri mereka adalah yang suka berdalil dengan ayat-ayat yang belum begitu jelas maknanya untuk bisa mereka tafsirkan semau mereka. Dengan itu mereka maksudkan menebar fitnah yakni menyesatkan para pengikutnya.

Allah berfirman:
“Adapun yang dalam hatinya terdapat penyelewengan (dari kebenaran) maka mereka mengikuti apa yang belum jelas dari ayat-ayat itu, (mereka) inginkan dengannya fitnah dan ingin mentakwilkannya. Padahal tidak ada yang mengetahui takwilnya kecuali Allah.” (Ali-Imran: 7)

Ibnu Katsir mengatakan: “Menginginkan fitnah artinya ingin menyesatkan para pengikutnya dengan mengesankan bahwa mereka berhujjah dengan Al Qur’an untuk (membela) bid’ah mereka padahal Al Qur’an itu sendiri menyelisihinya. Ingin mentakwilkannya artinya menyelewengkan maknanya sesuai dengan apa yang mereka inginkan.” (Tafsir Ibnu Katsir: 1/353]

5. Memilih guru yang dikenal berpegang teguh kepada Sunnah Nabi dalam berakidah, beribadah, berakhlak dan mu’amalah. Hal itu karena urusan ilmu adalah urusan agama sehingga tidak bisa seseorang sembarangan atau asal comot dalam mengambilnya tanpa peduli dari siapa dia dapatkan karena ini akan berakibat fatal sampai di akhirat kelak. Maka ia harus tahu siapa yang akan ia ambil ilmu agamanya.

Jangan sampai dia ambil agamanya dari orang yang memusuhi Sunnah atau memusuhi Ahlussunnah atau tidak pernah diketahui belajar akidah yang benar karena selama ini yang dipelajari adalah akidah-akidah yang salah atau mendapat ilmu hanya sekedar hasil bacaan tanpa bimbingan para ulama Ahlussunnah. Sangat dikhawatirkan, ia memiliki pemahaman-pemahaman yang salah karena hal tersebut.

Seorang tabi’in bernama Muhammad bin Sirin mengatakan: “Sesungguhnya ilmu ini adalah agama maka lihatlah dari siapa kalian mengambil agama kalian.” Beliau juga berkata: “Dahulu orang-orang tidak bertanya tentang sanad (rangkaian para rawi yang meriwayatkan) hadith, maka tatkala terjadi fitnah mereka berkata: sebutkan kepada kami sanad kalian, sehingga mereka melihat kepada Ahlussunnah lalu mereka menerima hadithnya dan (apabila) melihat kepada ahlul bid’ah lalu menolak hadithnya.” (Riwayat Muslim dalam Muqaddimah Sahih-nya)

Nabi SAW bersabda:
“Keberkatan itu berada pada orang-orang besar kalian.” (Shahih, HR. Ibnu Hibban, Al Hakim, Ibnu Abdil Bar dari Ibnu Abbas, dalam kitab Jami’ Bayanul Ilm hal:614 dengan tahqiq Abul Asybal, dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahihul Jami’:2887 dan As Shahihah:1778)

Dalam ucapan Abdullah bin Mas’ud:
“Manusia tetap akan baik selama mereka mengambil ilmu dari orang-orang besar mereka, jika mereka mengambilnya dari orang-orang kecil dan jahat di antara mereka, maka mereka akan binasa.” Diriwayatkan pula yang semakna dengannya dari sahabat Umar bin alKhattab. (Riwayat Ibnu Abdil Bar dalam Jami’ Bayanul Ilm hal: 615 dan 616, tahqiq Abul Asybal dan dishahihkan olehnya)

Ibnu Abdil Bar menukilkan dari sebahagian ahlul ilmi (ulama) menceritakan maksud dari hadith di atas: “Bahawa yang dimaksud dengan orang-orang kecil dalam hadith Umar dan hadith-hadith yang semakna dengannya adalah orang yang diminta fatwa padahal tidak punya ilmu. Dan orang yang besar artinya yang berilmu tentang segala hal. Atau yang mengambil ilmu dari para sahabat.” (Lihat Jami’ Bayanil Ilm: 617).

6. Tidak mengambil ilmu dari sisi akal atau rasional, karena agama ini adalah wahyu dan bukan hasil penemuan akal. Allah berkata kepada Nabi-Nya:
“Katakanlah (Ya, Muhammad): ‘sesungguhnya aku memberi peringatan kepada kalian dengan wahyu.’.” (Al-Anbiya: 45)

“Dan tidaklah yang diucapkan itu (Al Qur’an) menurut kemahuan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).” (An-Najm: 3-4)

Sungguh berbeza antara wahyu yang bersumber dari Allah Dzat yang Maha Sempurna yang sudah pasti wahyu tersebut memiliki kesempurnaan, dibanding akal yang berasal dari manusia yang bersifat lemah dan yang dihasilkannya pun lemah.

Jadi tidak boleh bagi siapapun meninggalkan dalil yang jelas dari Al Qur’an ataupun hadith yang sahih karena tidak sesuai dengan akalnya. Seseorang harus menundukkan akalnya di hadapan keduanya.

Ali bin Abi Thalib berkata: “Seandainya agama ini dengan akal maka tentunya bahagian bawah khuf (sarung kaki yang terbuat dari kulit) lebih utama untuk disapu (pada saat berwudhu-red) daripada bahagian atasnya. Dan sungguh aku melihat Rasulullah mengusap bahagian atas khuf-nya.” (sahih, HR Abu Dawud disahihkan As-Syaikh Al Albani dalam Shahih Sunan Abu Dawud no:162).

Pada ucapan beliau ada keterangan bahawa dibolehkan seseorang mengusap bahagian atas khuf-nya atau sarung kaki atau kasutnya ketika berwudhu dan tidak perlu membukanya jika dipenuhi syaratnya sebagaimana tersebut dalam buku-buku fiqh. Yang menjadi perbahasan kita di sini adalah ternyata yang disapu itu adalah bahagian atasnya, bukan bahagian bawahnya. Padahal secara akal, yang lebih berhak disapu adalah bahagian bawahnya karena itulah yang kotor.

Ini menunjukkan bahawa agama ini murni dari wahyu dan kita yakin tidak akan bertentangan dengan akal yang sihat dan fitrah yang selamat. Masalahnya, kadang-kadang akal tidak memahami hikmahnya, seperti dalam masalah ini. Boleh jadi syariat melihat dari pertimbangan lain yang belum kita fahami.

Jangan sampai ke-tidakfaham- an kita menjadikan kita menolak hadith yang shahih atau ayat Al Qur’an yang datang dari Allah yang pasti membawa kebaikan pada makhluk-Nya. Hendaknya kita mencontoh sikap Ali bin Abi Thalib di atas.

Abul Mudhaffar As Sam’ani menerangkan Aqidah Ahlussunnah, katanya: “Adapun para pengikut kebenaran mereka menjadikan Kitab dan Sunnah sebagai pautan mereka, mencari agama dari keduanya. Adapun apa yang terdetik dalam akal dan benak, mereka hadapkan kepada Kitab dan Sunnah. Kalau mereka dapati sesuai dengan keduanya mereka terima dan bersyukur kepada Allah yang telah memperlihatkan hal itu dan memberi mereka taufik. Tapi kalau mereka dapati tidak sesuai dengan keduanya mereka meninggalkannya dan mengambil Kitab dan Sunnah lalu menuduh salah terhadap akal mereka. Karena sesungguhnya keduanya tidak akan menunjukkan kecuali kepada yang haq (kebenaran), sedangkan pendapat manusia kadang-kadang benar kadang-kadang salah.” (Al-Intishar li Ahlil Hadits: 99)

Ibnul Qoyyim menyimpulkan bahawa pendapat akal yang tercela itu ada beberapa bentuk:
a. Pendapat akal yang menyelisihi nash Al Qur’an atau As Sunnah.
b. Berbicara masalah agama dengan prasangka dan perkiraan yang diikuti dengan sikap sambil lewa mempelajari nash-nash, serta memahami dan mengambil hukum darinya.
c. Pendapat akal yang berakibat menolak asma’ (nama) Allah, sifat-sifat dan perbuatan-Nya dengan teori atau qiyas yang batil yang dibuat oleh para pengikut falsafah.
d. Pendapat yang mengakibatkan tumbuhnya bid’ah dan matinya Sunnah.
e. Berbicara dalam hukum-hukam syariat sekadar dengan anggapan baik dan prasangka.
Adapun pendapat akal yang terpuji, secara ringkas adalah yang sesuai dengan syariat dengan tetap mengutamakan dalil syariat. (lihat, I’lam Muwaqqi’in: 1/104-106, Al- Intishar: 21,24, dan Al Aql wa Manzilatuhu)

7. Menghindari perdebatan dalam agama. Nabi SAWbersabda:
“Tidaklah sebuah kaum sesat setelah mereka berada di atas petunjuk kecuali mereka akan diberi sifat jadal (berdebat). Lalu beliau membaca ayat, artinya: ‘Bahkan mereka adalah kaum yang suka berbantah-bantahan’.” (Hasan, HR Tirmidzi dari Abu Umamah Al Bahili, dihasankan oleh As Syaikh Al Albani dalam Shahihul Jami’ no: 5633)

Ibnu Rajab mengatakan: “Di antara sesuatu yang diingkari para Imam salafus shalih adalah perdebatan, berbantah-bantahan dalam masalah halal dan haram. Itu bukanlah jalan para Imam agama ini.” (Fadl Ilm Salaf 57 dari Al-Intishar: 94).

Ibnu Abil Izz menerangkan makna mira’ (berbantah-bantahan ) dalam agama Allah adalah membantah ahlul haq (pemegang kebenaran) dengan menyebutkan syubhat-syubhat ahlul bathil, dengan tujuan membuat keraguan padanya dan menyimpangkannya. Karena perbuatan yang demikian ini mengandung ajakan kepada kebatilan dan menyamarkan yang hak serta merosak agama Islam. (Syarh Aqidah Thahawiyah: 313)

Oleh kerananya Allah memerintahkan berdebat dengan yang paling baik. Firman-Nya:
“Ajaklah kepada jalan Rabb-Mu dengan hikmah, mau’idzoh (nasihat) yang baik dan berdebatlah dengan yang paling baik.” (An-Nahl: 125).

Para ulama menerangkan bahwa perdebatan yang paling baik boleh terhasil jika niat masing-masing dari kedua-dua belah pihak adalah baik. Masalah yang diperdebatkan juga baik dan mungkin dicapai kebenarannya dengan perbincangan. Masing-masing beradab dengan adab yang baik, dan memang punya kemampuan ilmu serta bersedia menerima yang haq jika kebenaran itu muncul dari hasil perdebatan mereka. Juga bersikap adil serta menerima kembali orang yang kembali kepada kebenaran. (lihat rinciannya dalam Mauqif Ahlussunnah 2/587-611 dan Ar-Rad ‘Alal Mukhalif hal:56-62).

Perdebatan para shahabat dalam sebuah masalah adalah perdebatan musyawarah dan nasihat. Boleh jadi mereka berselisih dalam sebuah masalah ilmiah atau amaliah namun tetap bersatu dan berukhuwwah. (Majmu’ Fatawa 24/172)

Inilah beberapa spesifikasi dalam mengambil ilmu agama sebagaimana terdapat dalam Al Qur’an maupun hadith yang shahih serta keterangan para ulama. Kiranya itu boleh menjadi titik perhatian kita dalam kehidupan beragama ini, sehingga kita berharap boleh beragama sesuai yang diinginkan oleh Allah dan Rasul-Nya.

src : abumeow@yahoogroups.com

Comments

Popular posts from this blog

Doa Haikal dan khasiatnya

Kalau nak senang bangun malam...

JENIS-JENIS SOLAT