Dalam Mihrab Cinta oleh Habiburrahman el Shirazy


"Hmm penjual kerupuk keliling. Apakah memang takdirku jadi isteri seorang penjual kerupuk keliling?" gumamnya sendiri.
Ada dialog yang cukup serius dalam dirinya. "Tapi meskipun penjual kerupuk keliling. Ia adalah orang yang baik akhlak dan ibadahnya. Tanggung jawabnya bisa diandalkan. Toh aku sudah bilang pada Bu Nyai bahwa status, strata, kedudukan sosial, pendidikan dan lain sebagainya tidak jadi pertimbangan lagi. Yang aku inginkan adalah suami yang baik agamanya. Baik imannya dan bisa jadi teladan untuk anak-anak kelak. Apakah aku harus mempersoalkan pekerjaannya yang cuma penjual kerupuk keliling?" Sampai di kelas ia tidak konsentrasi mengajar. Akhirnya ia memberi pekerjaan kepada para siswa. Jam ketiga ia ijin pulang ke rumah dengan alasan ada kepentingan yang sangat penting berkaitan dengan permintaan Bu Nyai. Jika alasannya Bu Nyai, tidak ada
yang berani membantah.

Sampai di rumah ia mengajak musyawarah ayah dan ibunya. Keduanya mendorongnya untuk maju. "Kemuliaan hidup seseorang itu tidak karena pendidikannya atau pekerjaannya. Seseorang jika dimuliakan oleh Allah akan juga mulia di mata manusia."
Demikian kata ibunya. Ia mulai mantap. Namun merasa masih belum cukup. Ia lalu menelpon Lina. Dari jauh Lina menjawab, "Dia kan lulusan aliyah. Nanti jika kalian sudah menikah dan hidup mapan. Minta saja dia kuliah. Dengan begitu dia akan selesai S.l dan jarak pendidikan tidak terlalu jauh. Dan sebenarnya dengan dia mengabdi
di Pesantren bertahun-tahun dia telah mendapatkan pelajaran hidup yang lebih matang dari mata kuliah di Program Pascasarjana sekalipun. Sudah mantaplah Ran.
Pak Kiai dan Bu Nyai pasti berusaha mengarahkan yang terbaik."
Mantap sudah hatinya. Niatnya sudah bulat. Untuk semakin memantapkan ia pun Istikharah. Setelah Istikharah rasa mantapnya semakin besar. Hari itu juga
ia menelpon Bu Nyai dan menjelaskan kemantapannya. Bu Nyai menjawab,
"Baiklah coba jelaskan alamat rumahmu!" "Saya tinggal di Perumahan Klipang Asri. Jalan Madukara B-15."

"Besok satu hari penuh jangan ke mana-mana. Pak Kiai akan meminta si Rahmad itu berjualan ke perumahan di mana kau tinggal. Kau belilah kerupuk darinya,
48 dan kau boleh bertanya apa saja padanya. Biasa saja. Dia tidak tahu apa-apa masalah ini. Dengan begitu kau bisa tahu dengan jelas calon suamimu itu. Jika kau masih juga mantap, maka bisa diteruskan. Jika tidak ya tidak apaapa." "Baik Bu Nyai." Jawabnya. Dari situ ia tahu betapa demokratisnya Bu Nyai. Betapa bijaksananya Bu Nyai. Betapa Bu Nyai memang tidak mau memaksa. Ia kemudian jadi takut. Janganjangan
ia yang nanti mau, tapi si penjual kerupuk itu justru yang tidak mau dengan alasan minder dan lain sebagainya. Ia mendesah nafas panjang. Biarlah waktu yang menjawabnya, desahnya.

src : ebook Dalam Mihrab Cinta oleh Habiburrahman El Shirazy

Comments

Popular posts from this blog

Doa Haikal dan khasiatnya

Kalau nak senang bangun malam...

JENIS-JENIS SOLAT